Senin, 16 November 2020

Yang Tak Pernah Terbayangkan

 

“hubungan kita emang ga sehat, karena kita sama-sama perokok”

 

Aku sudah lama mengenalnya. Sesama direksi di perusahaan konstruksi yang selalu bersaing. Bahkan saling berdebat demi memenangkan tender. Ya, disitu lah kita saling tau satu sama lain. Gedung kantor kami pun hanya beda tiga blok saja.

Entah apa yang membuatnya menghubungiku malam itu, sepulang kami adu mulut saling meyakinkan calon klien untuk memilih salah satu dari perusahaan kami.

“Selamat malam Bu Irene, saya Daffa” sapanya mengawali obrolan. Kuabaikan.

Lah gila nih orang ngapain ya, mau lanjut debat apa? Pikirku saat itu.

Suatu waktu, pulang lembur, jenuh, kuputuskan nongkrong ke rooftop sambal nyebat. Anginnya lumayan kenceng, dan tiba-tiba aku terhenyak.

“Boleh ikut ngerokok juga?” ucap seseorang yang mendadak muncul sambil mengeluarkan sebungkus rokok beserta korek apinya. Juga dua kaleng coffee beer yang berembun, dingin.

Melotot lah aku, karena emang aku ga pernah merokok di depan teman sekantor. But wait, emang dia temen sekantor?

Tak kusangka hal aneh yang mengawali perkenalan kami, membuat kami semakin intens pedekate.

 

***

 

Ya, namanya juga kompetitor. Sudah sering kita bertemu dalam perdebatan, dan justru mengakhirinya dengan pelukan. Di rooftop biasa kita bertemu sepulang kerja, sembari merokok bersama. Hubungan kita emang ga sehat, karena kita sama-sama perokok.

Sejak awal dia memergoki aku menghisap sebatang rokok kala itu, dia tidak pernah sekalipun menghakimiku karena kebiasaan burukku ini. Sebaliknya, aku justru banyak berbagi cerita dengannya.

Alasan aku menjadi perokok adalah, putus cinta akibat  menjadi pelaku long distance relationshit. Juga menjadi wanita karir yang susah meluangkan waktu untuk bertemu mantan pacar yang sudah keburu berfikir jauh padaku.

Sejak itu aku jadi enggan percaya dengan pria, semacam trauma. Tapi pandanganku tertolak atas penilaianku pada Daffa, asisten direktur yang naik jabatan menggantikan direktur sebelumnya yang sudah pensiun.

Semua lukaku terobati olehnya. Dan puncaknya, dua bulan ini kita sedang kasmaran. Dia mulai berani menjemputku di depan kantor, yang tentunya saat itu yang tau hanya Pak Sariman, security di kantorku.

Kita mengelilingi kota malam hari, makan pecel lele di emperan toko yang sudah tutup, bahkan kita main ke pantai sambil menikmati senja. Banyak foto kebersamaan kita yg tersimpan rapi di kamera. Menyenangkan, melihat diriku yang terluka bisa tersenyum di sisi orang yang menerimaku bahkan selalu mensupport waktu aku down.

Tertawa, saling memandang, bahkan marah bersama. Kita melewatinya dengan sukacita. Aku. Dia Kita bahagia.

 

***

 

Berselisih itu pasti, namun Daffa tipikal orang yang enggan marahan terlalu lama. Kita hanya sedang dihadapkan masalah yang akhirnya terasa rumit juga. Kita berdua sama-sama tau, sedang bersemangat dalam berkarir. Dan kita sama-sama belum ingin berhenti dari jabatan kami, apalagi kalau salah satu dari kami memutuskan resign rasanya tidak mungkin.

Entah kenapa Daffa tiba-tiba hampir nggak pernah menghubungiku. Chatku saja sering diabaikan. Aku panik, rasanya aku kesulitan tidur karena overthinking. Bahkan dia semakin culas saja padaku waktu perusahaan kita bertemu di open tender.

Rasanya aku mulai mengerti kenapa dia menjadi seperti ini. Aku memintanya menemuiku di rooftop. Aku bilang juga padanya, ini terakhir kalinya.

00.15 dia datang. Hanya berdiri memandangku. Tak lagi menghampiriku dan menghabiskan 2-3 batang rokok bersamaku. Benar ini terjadi sesuai bayanganku. Aku benar-benar tau apa yang sedang dia pikirkan.

Aku menghampirinya. Berdiri tepat di hadapannya. Menatapnya dengan berkaca-kaca.

“Iya, kita memang belum bisa bersama karena ego kita masing-masing. Harusnya kamu nggak boleh pergi lagi kaya gini”

Aku mengecup bibirnya, tangisku pecah. Dan aku pergi meninggalkannya. Dia tak bergeming. Apalagi menghentikanku.

Daffa.. aku tau kamu sedang sangat ingin memilikiku. Tapi di sisi lain kita belum siap melepas apa yang sedang kita genggam saat ini. Aku sudah beberapa kali ada di perasaan itu, sama denganmu. Hanya saja aku memilih tetap bertahan denganmu. Karena sudah cukup begitu menenangkan dan menyenangkan ada di sisimu, menjadi pilihanmu untuk mendengar cerita, tawa, juga amarahmu.

Aku bahkan tidak pernah memintamu datang. Apalagi memintamu pergi.